Rabu, 21 September 2011

Literasi Media, Sekedar Melek Media Sajakah?


Pendahuluan

Literasi Media. Apa yang ada di benak anda ketika mendengarkan kata tersebut? Apakah anda akan berpikir tentang kemampuan seseorang yang telah melek terhadap media & teknologi? Jika seperti itu, berarti pemikiran anda masih terlalu sederhana. Lebih dari itu, literasi media juga dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang memahami, mengerti dan dapat memfilterisasi media massa. Media massa adalah Media yang digunakan secara massal untuk menyebarluaskan informasi kepada khalayak. Informasi itu bisa berupa hiburan, atau pendidikan. Media massa terdiri media cetak dan media elektronik. Yang termasuk media cetak adalah koran, majalah, tabloid, newsletter, dan lain-lain. Sedangkan media elektronik adalah televisi dan juga radio. Fungsi Media massa setidaknya ada empat, yaitu menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), membentuk opini atau pendapat (to persuade), dan menghibur (to entertain).
Literasi Media muncul didorong kenyataan bahwa fungsi media massa lebih dominan dalam hal menghibur, dan mengabaikan fungsi mendidik. Tidak bisa dipungkiri lagi, di era informasi seperti ini, dalam kegiatan kita sehari-hari saja, kita tidak pernah bisa terlepas dari media-media tersebut, tidak perduli sesibuk apapun kita. Namun fakta bicara, tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Banyak di antaranya yang tidak mendidik dan hanya mengedepankan kepentingan pemilik/pengelola media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Media literacy bermaksud membekali khalayak dengan kemampuan untuk memilah dan menilai isi media massa secara kritis, sehingga khalayak diharapkan hanya memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya.


Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah tentang literasi media ini, selain sebagai pengetahuan umum yg patut diketahui semua orang, juga bertujuan untuk mengajarkan kepada orang-orang tentang media massa, seluk beluk apa saja yang terdapat di dalamnya, bagaimana menganalisa & memfilterisasi info dsb. Karena, jika tidak begitu, akibatnya bisa fatal. Di masyarakat dapat disaksikan bahwa teknologi komunikasi terutama televisi, komputer dan internet telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat), setiap saat kita semua menyaksikan realitas baru di masyarakat, dimana realitas itu tidak sekedar sebuah ruang yang merefleksikan kehidupan masyarakat nyata dan peta analog atau simulasi-simulasi dari suatu masyarakat tertentu yang hidup dalam media dan alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang dimana manusia bisa hidup di dalamnya. Media massa merupakan salah satu kekuatan yang sangat mempengaruhi umat manusia di abad 21. Media ada di sekeliling kita, media mendominasi kehidupan kita dan bahkan mempengaruhi emosi serta pertimbangan kita.
Keberadaan media dimana-mana dan juga periklanan telah mengubah pengalaman sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Media merupakan unsur penting dalam pergaulan sosial masa kini. Kebudayaan masyarakat tidak terlepas dari media, dan budaya itu sendiri direpresentasikan dalam media. Sekarang ini eksploitasi pers dan media interaktif telah menuju ke arah penciptaan supremasi media yang mengancam keberadaan cara pandang objektif dan ruang publik. Hal ini sesuai dengan pandangan teori hegemoni; peran media bukan lagi sebagai pengawas pemerintah, tetapi justru menopang keberadaan kaum kapitalis dengan menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka.



Aspek Teoritis

            Memasuki abad ke 21, industri media tengah berada di dalam perubahan yang cepat. Kerajaan-kerajaan media mulai membangun diri dengan skala yang besar. Merger ataupun pembelian media lain dalam industri media terjadi dimana-mana dengan nilai perjanjian yang sangat besar. Semakin lama bisnis media semakin besar dan melibatkan hampir seluruh outlet media yang ada dengan kepemilikan yang makin terkonsentrasi. Masyarakat mulai tenggelam dalam dunia yang dipenuhi oleh media. Apakah masyarakat terlayani dengan informasi yang aktual, beragam dan sesuai dengan kepentingan mereka oleh industri ini, atau perkembangan yang luar biasa ini hanya untuk meningkatkan keuntungan bagi “segelintir” orang yang terlibat dalam industri ini.
Media, menurut sudut pandang model pasar (Croteau dan Hoynes, 2001), dilihat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan masyarakat berdasarkan atas hukum permintaan dan persediaan. Model ini memperlakukan media layaknya barang dan jasa lainnya. Bisnis media beroperasi dalam apa yang disebut sebagai /“dual product” market/, pasar dengan dua produk. Secara bersamaan menjual dua jenis “produk” yang sama sekali berbeda pada dua jenis pembeli yang sama sekali berbeda. Dalam kenyataan, konsumen yang direspon oleh perusahaan media adalah pengiklan, bukan orang yang membaca, menonton, atau mendengarkan media. Ini tentu saja dapat menjelaskan bagaimana acara-acara di televisi misalnya, tampil hamper seragam. Apabila hasil riset menyatakan banyak orang yang menontonnya maka pengiklan akan memasang iklan pada slot acara tersebut, yang berarti pemasukan, sehingga tidak ada alasan untuk stasiun televisi untuk mengubahnya.
Bila dilihat dari sudut pandang lainnya, dengan menggunakan model ruang publik, media lebih dari hanya sekedar alat pengejar keuntungan. Media merupakan sumber informasi yang utama dimana informasi harus beredar dengan bebas, tanpa intervensi pemerintah yang menghalangi aliran ide. Sudut pandang ini melihat orang lebih sebagai anggota masyarakat daripada konsumen, maka dari itu media seharusnya “melayani” masyarakat tersebut. Pertumbuhan media begitu pesat pada abad ke-20 dengan sejumlah regulasi dan deregulasi yang ikut mewarnai perkembangan industri ini. Bila pada awal abad ke-20 konglomerasi media sangat dibatasi, keadaan pada akhir abad ini berubah drastis dimana terjadi akusisi dan /merger/ dalam skala yang besar. Pertumbuhan yang terjadi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi sehingga outlet media semakin beragam. Media yang menggunakan teknologi yang lebih awal dipaksa untuk berevolusi untuk menghadapi media yang berteknologi lebih baru. Contohnya peluncuran
koran /USA Today/ pada tahun 1982 yang menampilkan berita dalam ukuran kecil dengan banyak foto-foto berwarna serta dihiasi dengan tampilan grafis merupakan cara koran untuk mengimitasi gaya dan format televisi. Seiring dengan berjalannya waktu, difasilitasi dengan lingkungan regulasi yang semakin longgar, perusahaan media yang besar bergabung atau membeli perusahaan media lainnya untuk membuat konglomerasi media yang lebih besar dan juga global. Dilihat dari sudut pandang “pasar”, hal ini wajar dalam rangka untuk memperbesar penjualan, efisiensi dalam produksi, dan memposisikan diri terhadap kompetitor. Namun bila dilihat dari sudut pandang ruang publik, hal ini tidak menjamin terlayaninya kepentingan publik (public interest). Jumlah outlet media yang banyak belum tentu menjamin terpenuhinya /content/ yang menjadi kepentingan publik.
            Tren yang berlaku pada struktur industri media akhir-akhir ini adalah /Pertumbuhan, Integrasi, Globalisasi, dan Pemusatan Kepemilikan./ Proses restrukturisasi pada industri media telah mengizinkan para konglomerat untuk menjalankan strategi-strategi yang diarahkan untuk memaksimalkan keuntungan, mengurangi biaya, dan meminimalkan resiko. Perubahan dala struktur media serta prakteknya berpengaruh nyata pada isi media. Pengejaran keuntungan menjuruskan media pada homogenisasi dan /trivialisasi /(membuat sesuatu yang tidak penting). Isi pada media akan sering berbenturan dan menyesuaikan pada kepentingan bisnis yang mengejar keuntungan.
Hegemoni, menurut pandangan Gramsci (1971) tidak hanya menunjukkan dominasi dalam kontrol ekonomi dan politik saja, namun juga menunjukkan keampuan dari suatu kelas sosial yang dominan untuk memproyeksikan cara mereka dalam memandang dunia. Jadi, mereka yang mempunyai posisi di bawahnya menerima hal tersebut sebagai anggapan umum yang sifatnya alamiah. Budaya yang tersebar merata di dalam masyarakat pada waktu tertentu dapat diinterpretasikan sebagai hasil atau perwujudan hegemoni, perwujudan dari penerimaan “konsesual” oleh kelompok-kelompok gagasan subordinat, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok dominan tersebut. Menurut Gramsci, kelompok dominan tampaknya bukan semata-mata bisa mempertahankan dominasi karena kekuasaan, bisa jadi karena masyarakat sendiri yang mengijinkan.



Contoh Kasus

            Banyak contoh kasus yang dapat kita ambil dan jabarkan mengenai litrasi media ini. Contoh kasus tersebut bisa saja kasus baik ataupun buruk. Supaya adil, saya akan mencoba mengangkat kedua-duanya sekaligus dalam artikel ini. Kita mulai dari yang baik terlebih dahulu.
Twitter, merupakan jejaring sosial yang relatif baru, tapi mendapat perhatian yang meluas. Melalui twitter, berbagai peristiwa besar terjadi. Di Indonesia, penggunaan twitter semakin populer setelah adanya laporan via twitter tentang peristiwa ledakan bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton. Dari mashable.com, ada tulisan menarik seputar penggunaan twitter untuk ranah pendidikan berjudul How Twitter in the Classroom is Boosting Student Engagement. Tulisan itu menggarisbawahi tantangan proses belajar di universitas, dimana seorang dosen akan kesulitan berinteraksi dengan mahasiswanya jika kelas berisi 200-an mahasiswa, dan waktu pertemuan hanya sekitar 90 menit. Ada dua hal yang digarisbawahi dalam tulisan itu, (1) meningkatkan partisipasi peserta belajar, dan (2) membangun komunitas pembelajar. Twitter sebagai sebuah teknologi, memiliki kemampuan menyebarkan informasi secara cepat, dan multi arah. Siapapun dalam jaringan follow-follower, dapat berinteraksi secara bersamaan (real time).
Twitter mampu meningkatkan partisipasi peserta belajar, karena biasanya di dalam kelas, banyak mahasiswa/siswa yang sangat pemalu untuk berbicara atau mengungkapkan pendapatnya. Melalui twitter, hambatan itu bisa diatasi. Begitu pula masalah waktu. Pertemuan di kelas yang sangat terbatas, bisa diatasi dengan diskusi di luar jam perkuliahan/belajar. Tentu saja ini akan mensyaratkan penggunaan twitter secara tepat. Bahwa twitter sebagai solusi yang murah, layak untuk dicoba dalam ranah pendidikan yang semakin mahal dari hari ke hari. Mahalnya pendidikan berimbas pada jumlah mahasiswa per kelas, yang semakin banyak. Hal ini tentu mengurangi efektifitas pembelajaran, karena biasanya satu kelas akan efektif dibimbing oleh satu orang dosen, jika jumlah pesertanya tidak lebih dari 25 orang. Memanfaatkan media sosial seperti ini, juga mendorong budaya penggunaan teknologi ke arah yang lebih positif. Paling tidak hal ini akan memberi gambaran yang konkrit pada para pengguna, bahwa Twitter, dan media sosial lainnya, memang bermanfaat dan memberi nilai lebih, tidak sekedar menjadi alat chit-chat pembunuh waktu belaka.
Setelah tadi membahas tentang contoh baiknya, sekarang saatnya kita berpindah, membahas tentang contoh kasus buruknya. Contoh kasus buruk ini tidak terelakkan lagi, terjadi karena kurangnya literasi media yang baik pula dari masyarakat kita, sehingga mereka tidak dapat membadakan antara acara yang baik & yang buruk, dan tidak dapat menganalisis efek yang akan ditimbulkannya.
Fashion atau sebuah gaya busana baru dikatakan “ngetren” jika selebriti atau kalangan yang diekspos media memakai gaya busana tersebut. Ternyata selama ini tidak ada yang berhak menyandang gelar trendsetter karena kita hanya mencontoh gaya busana yang terus menerus muncul di media, kemudian saling mengikuti satu sama lain. Tren tersebut bersemi untuk sementara, sampai media mengekspos gaya busana yang baru. Media lah yang menjadi komandan /what’s in and what’s out/. Benarkah media berpengaruh sebegitu kuat? Taruhan, saat ini dijamin tidak ada mahasiswa (diasumsikan mahasiswa melek fashion) yang berani ke kampus dengan gaya rambut mengembang, sweater besar, rok mini, dan ikat kepala warna-warni, dimana saat ini media selalu memunculkan remaja putri dengan rambut lurus berponi, kaus ketat, jeans /boot cut/, dan sepatu hak tinggi.
Hegemoni media juga berhasil mengubah cara khalayaknya mengkonstruksikan konsep, contoh mudahnya konsep ketampanan dan kecantikan. Setahun yang lalu, ketika film Meteor Garden mengalami sukses besar, tampaknya para remaja putri memiliki kesepakatan baru mengenai konsep “tampan”. Pada masa tersebut, pria yang dikatakan tampan adalah pria berwajah oriental, dengan rambut semi gondrong berlayer. Begitu juga ketika produsen sabun Lux secara bergantian menampilkan bintang-bintang iklan yang cantik, berkulit putih, agak ke-/bule-bule/-an (kecuali Dian Sastro), tentunya banyak pria bersepakat bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang berkulit putih, berambut panjang, keturunan eropa atau amerika.
Contoh lain yang populer di Indonesia adalah ketika sinetron-sinetron remaja berhasil menciptakan pergeseran nilai dalam kehidupan remaja di kota-kota besar. Saat ini siapa yang mengajarkan orang tua untuk member izin anaknya yang masih duduk di SMP untuk menyetir mobil sendiri ke sekolah, bahkan dengan ikhlas membuatkan SIM tembak untuk anaknya? Siapa yang mengajarkan bahwa anak-anak usia sekolah saat ini boleh-boleh saja keluar malam dan pulang pagi? Siapa lagi kalau bukan sinetron remaja yang terus menerus berusaha menampilkan bahwa anak SMP yang menyetir mobil sendiri dan pulang pagi adalah suatu kewajaran.

Kesimpulan

Kekuatan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) belum bisa diandalkan secara maksimal sampai saat ini. UU penyiaran pun masih banyak disalahgunakan oleh jagoan-jagoan hukum kita. Alhasil, literasi media adalah suatu hal yang mutlak harus diketahui dan dipahami oleh segenap masyarakat Indonesia. Dengan dipahaminya literasi media ini, sedikit demi sedikit, setidaknya dampak-dampak negatif yang disiarkan oleh media dapat diatasi dengan baik oleh masyarakat kita. Acara tentang kepentingan pemilik modal, acara yang dibuat-buat (reality show) dan acara-acara tidak berpendidikan lainnya satu persatu akan hilang berganti dengan acara yang lebih berpendidikan dan berbobot. Ya, memang tidak berlebihan, seperti itulah kekuatan literasi media, jika bisa dimanfaatkan dengan baik tentunya.