Kamis, 11 Juli 2013

Suara Merduku Kalah Saing dengan Pengemis

Ini yang feature.


























Dendi (19) sedang menunggu Kopaja yang akan dia jadikan tempat untuk mengamen di Kawasan Cengkareng, Jakarta (11/07/2013).

JAKARTA, KOMPAS.com - Namaku Dendi, 19 tahun. Tapi teman-teman seprofesi banyak memanggilku Ucuy. Aku terlahir dengan kulit sawo matang, namun sekarang sudah terlihat hitam legam karena terlalu sering terkena sinar matahari. Rambutku lurus berponi. Tinggiku rata-rata orang indonesia. Aku memiliki tato di lengan sebelah kiri yang kubuat saat masih nakal dulu. Aku putus sekolah saat SMP kelas dua, tepatnya satu tahun sejak almarhum ibuku meninggal dunia. Ayahku adalah seorang pemulung yang sudah sakit-sakitan. Aku juga mempunyai satu adik perempuan yang saat ini bersekolah kelas 1 SMP. Aku tidak ingin dia putus sekolah sepertiku.

Pekerjaanku setiap hari adalah menghibur orang dengan bernyanyi sembari bergitar. Bukan dari panggung ke panggung, namun dari kopaja ke kopaja. Ya, aku adalah seorang pengamen. Namun jika bisa memilih, aku lebih senang dipanggil seniman atau musisi jalanan. Itu merupakan cita-citaku. Tapi di zaman sekarang ini, kalau tidak sekolah bisa apa? Meskipun begitu, aku tetap senang menjadi pengamen. Aku tetap bisa menjalankan hobiku dan suatu saat dapat meraih cita-citaku dengan cara yang tak terduga. Seperti pengamen cilik yang tiba-tiba terkenal itu. Lagipula, penghasilan dari mengamen juga lumayan. Cukup untuk kehidupan sehari-hari dan membiayai sekolah adikku yang katanya sebagian besarnya sudah ditanggung Pak Jokowi. Namun memasuki bulan ramadhan yang katanya penuh rahmat ini, entah kenapa penghasilanku menurun. Bukan hanya tahun ini, tapi juga tahun-tahun sebelumnya.

Aku yang jika bekerja dari pagi hingga malam dapat menghasilkan Rp 60-70 ribu per hari kini hanya bisa mendapatkan 30-40 ribu. Belakangan kuketahui penyebabnya adalah kemunculan para pengemis dadakan dari luar daerah Jakarta. Pengamen dan pengemis memang dua profesi yang berbeda. Sangat jauh berbeda bahkan. Namun orang-orang yang kita minta sebagian rezekinya selalu sama. Orang-orang yang sedang berhenti di lampu merah, sedang menaiki bus kota, ataupun mereka yang sedang menyantap hidangan di pinggir jalan. Target operasi kita sama.

Mekipun tidak tamat SMP, aku mengerti bahwa cara meminta uang dengan mengamen jauh lebih baik daripada mengemis. Meskipun jarang shalat, aku juga tahu bahwa tangan diatas jauh lebih baik daripada tangan dibawah. Lalu kenapa aku yang ssetidaknya bermodal suara dan gitar ini bisa kalah dengan mereka yang tidak bermodalkan apa-apa? Oh tunggu sebentar, sepertinya aku salah. Tentu saja para pengemis itu mempunyai modal, bahkan yang lebih besar dari milikku. Bukankah mereka harus bermodalkan bayi yang entah anak siapa agar dapat lebih dikasihani masyarakat? Bukankah ada juga dari mereka yang memodifikasi tubuh mereka sedemikian rupa sehingga terlihat cacat oleh orang-orang? Dan sialnya masyarakat kita lebih tergugah dengan modal yang seperti itu dibanding modal suara dan gitarku.

Aku yang sebagian besar menghabiskan waktu di jalanan ini tentu saja sangat sering bertemu mereka. Terkadang jika senggang, aku juga menyempatkan untuk mengobrol. Beberapa hari yang lalu aku sempat mengobrol dengan tipe pengemis ibu-ibu yang menggendong bayi. Obrolan kami berlangsung cukup panjang hingga mengarah kepada pendapatan masing-masing. Luar biasanya, ibu terebut menyebutkan bahwa dia bisa mendapatkan Rp 400-500 ribu per hari. Hampir sepuluh kali lipat dari penghasilanku. Sebenarnya aku tidak terlalu terkejut mendengar pernyataannya tersebut. Pasalnya, aku sudah sering mendengar info itu di kalangan teman-teman pengamen. Namun ada perasaan sedih dan pedih di hati ini. Bagaimana aku yang terkadang harus bernyanyi sambil berteriak karena bisingnya suara bus kota, harus kalah bersaing dengan seorang ibu yang hanya menadahkan tangan.

Aku bukan tipe pengamen yang buruk. Aku bukan tipe pengamen yang langsung pergi setelah uang diterima. Aku juga bukan pengamen yang bernyanyi asal-asalan dan ala kadarnya. Ya... meskipun menurutku tipe pengamen seperti itu juga masih lebih baik dari pengemis. Aku adalah tipe pengamen yang selalu berusaha bernyanyi dengan baik agar orang terhibur, tidak peduli mereka akan memberiku uang atau tidak. Aku juga tidak akan langsung kabur ketika sudah diberi uang. Mungkin hal tersebut kulakukan karena kecintaanku terhadap seni musik dan cita-cita mulukku untuk menjadi penyanyi profesional.

Aku cinta mengamen, dan akan terus mengamen. Namun jika nantinya keuangan keluarga menjadi semakin parah, siapa yang tidak tertarik berpindah profesi dengan pendapatan 10 kali lipat?


Hari Pertama Puasa, Buah Khas Ramadhan Ini Langsung Menjamur

Hasil tulisan yang cuma buat latihan dan belum untuk dimuat di Kompas.com. Daripada kependem di email redpel, mendingan di posting disini dulu. Tema tulisannya 'Ramadhan'. Ini tulisan yang dalam hardnews biasa, tapi nanti ada juga yang bentuk feature.















Ion (38) sedang menyusun buah timun suri di Pasar Palmerah, Jakarta (10/07/2013). Saat Ramadhan, dia mengaku timun suri dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar dibanding buah-buahan lainnya.

JAKARTA, KOMPAS.com – Seiring datangnya bulan suci Ramadhan, penjualan buah timun suri menjamur. Buah yang jarang terlihat pada hari-hari biasa tersebut, kini dapat ditemukan dengan mudah di setiap sudut Ibu Kota. Para pedagangnya pun mengaku dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar jika menjual buah ini pada bulan Ramadhan.
“Saya jual timun sari sejak 2 hari yang lalu. Biasanya jual buah campur aja tergantung musimnya,” ujar Dodi salah satu penjual buah timun suri di Pasar Palmerah, Jakarta (10/07/2013).
Dodi mengaku memutuskan untuk menjual timun sari karena mengikuti selera masyarakat yang berpindah di bulan ramadhan. Dia juga menambahkan, berjualan timun suri dapat membuat penghasilannya meningkat hingga 20 persen.
Ion, penjual timun suri di Pasar Palmerah lainnya juga mengungkapkan hal yang serupa. Menurutnya, berjualan timun suri pada bulan ramadhan sangat membantu meningkatkan omsetnya. Ion yang biasa mendapatkan omset Rp 700 ribu per hari, kini bisa mendapatkan hingga Rp 1 juta.
"Saya jual buah udah 6 tahun. Tiap Ramadhan jualnya timun suri aja, pasti laku. Banyak yang nyari soalnya," tambah pria berusia 38 tahun tersebut.

Lalu apa yang membuat buah timun suri ini sangat istimewa bagi orang yang menjalankan puasa? Yeni, ibu rumah tangga yang sedang membeli buah timun suri untuk santapan berbuka keluarganya mengaku bahwa buah timun suri ini adalah buah segar, yang dapat dicampur dengan berbagai jenis minuman. Selain itu, harganya yang murah serta ukuran yang besar dan cukup untuk sekeluarga juga menjadi daya tarik sendiri bagi wanita berumur 41 tahun tersebut.

Selasa, 18 Desember 2012

Review Film 5 CM: Overrated & Too Much Hype


5 cm bercerita tentang lima sahabat, Genta, Zafran, Arial, Ian dan Riani yang mulai bosan dengan kehidupan pertemanan mereka yang begitu-begitu saja. Pada suatu hari, Genta mempunyai ide untuk merubah keadaan tersebut. Genta mengusulkan agar mereka tidak bertemu dulu selama tiga bulan, agar bisa menjalani kehidupan yang fresh dan baru. Awalnya keempat lainnya menolak usulan genta tersebut, namun karena genta meyakinkan dengan berbagai alasan, akhirnya mereka menerima. Genta pun sudah mempunyai ide untuk merayakan pertemuan mereka di tiga bulan yang akan datang, namun ide tersebut baru akan dikabarkan oleh genta melalui sms satu minggu sebelum hari H. Mereka berlima pun menjalani kehidupan mereka masing-masing tanpa berinteraksi satu sama lain. Singkat cerita, hari “satu minggu sebelum hari H” pun tiba. Genta mengirimkan sms yang langsung diterima oleh keempat teman-temannya, berisi instruksi untuk berkumpul di stasiun senen dengan membawa peralatan-peralatan tertentu. Saat sudah bertemu di stasiun senen dan naik kereta, terungkap lah kemana tujuan mereka: Mahameru.

Seperti banyak novel yang diangkat ke layar lebar, film 5 CM ini masih jauh kalah bagus dengan novelnya, yang sebenarnya juga tidak bagus-bagus amat (jika dibandingkan dengan reputasinya). Untuk masalah sinematografi, bisa dibilang film ini terlihat cukup mumpuni, mungkin karena perpaduannya adalah keindahan alam mahameru. Bumbu-bumbu komedi yang sebenarnya bukan unsur utama dalam film ini, juga ditampilkan secara cukup baik, meskipun sebagian masih diisi dengan komedi dewasa yang cendrung kurang cerdas. Sisanya, film yang tayang perdana pada tanggal cantik “12-12-12” yang banyak salah dipersepsikan orang sebagai kiamatnya suku maya ini, dipenuhi kekurangan disana-sini. Dialog yang aneh dan kaku, adegan yang lebay dan tidak realistis, akting yang buruk, nasionalisme yang maksa, hingga konflik yang hampir tidak ada, mendominasi film yang disutradarai oleh Rizal Mantovani ini.

Spoiler Alert:Dialog :

Hal pertama yang paling mendominasi adalah dialog yang aneh, kaku, dan cendrung berlebihan. Kata-kata mutiara yang puitis dan bijaksana dari novel aslinya, dipaksakan untuk masuk menjadi dialog oleh sang penulis naskah, yaitu Donny Dirghantoro sendiri. Salah satu dialog yang paling bisa membuat penonton melongo keheranan adalah ketika keenamnya (plus Dinda, adik arial yang tiba-tiba ikut) berada diatas mobil jeep memandangi puncak gunung yang sebentar lagi akan mereka daki. Saat itu, mereka dengan konyolnya bersahut-sahutan menceploskan kata-kata indah nan bijaksana sambil melihat ke puncak gunung semeru. “Yang kita perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya.” “Tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya.” “Mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya.” Oh setop!
Spoiler Alert: Adegan :

Selain dialog, adegan yang tidak realistis dan lebay juga sangat sering muncul dalam film ini. Salah satunya pada adegan awal, penonton disuguhkan dengan adegan Ian yang datang terlambat dan hampir ketinggalan kereta. Ian yang berbadan gendut, mencoba untuk mengejar kereta yang sudah berjalan dengan diiringi oleh genta yang menjulurkan tangannya di depan pintu masuk. Yang menjadi masalah, durasi mengejar kereta tersebut sangat lama, namun entah mengapa laju kereta tidak kunjung menjadi cepat dan berhasil terkejar oleh Ian. Selain itu, kenapa dia harus masuk dari pintu tempat Genta menunggunya? Bukannya bisa masuk dari pintu-pintu lain di bagian belakangnya yang sebenarnya tidak perlu dikejar? Adegan lainnya adalah ketika kelimanya sudah hampir mencapai puncak mahameru. Saat itu batu-batu berjatuhan dari atas dan menimpa Ian dan Dinda. Segera setelah itu, keempat lainnya langsung menghampiri Dinda yang sempat tidak sadarkan diri, dan Ian dibiarkan tergeletak begitu saja. Entahlah, mungkin keempatnya mempunyai prinsip ladies first. Setelah Dinda sadar, barulah mereka menghampiri Ian yang ternyata kondisinya jauh lebih gawat daripada Dinda. Ian tidak sadar hingga sekian menit sampai teman-temannya mengira dia telah meninggal. Dengan konyolnya, setelah semua teman-temannya sudah pasrah, Ian akhirnya sadar dari pingsannya. Harus diakui adegan tersebut memang lucu. Yang lebih lucu lagi adalah ketika mereka setelah itu langsung kembali melanjutkan pendakian ke puncak seakan-akan-akan tidak terjadi apa-apa.
Akibat dipenuhi oleh dialog dan adegan yang ditulis secara aneh, kaku, lebay dan maksa, acting para pemainnya pun menjadi terpengaruh. Akting para pemain yang sebenarnya diisi oleh aktor profesional sekelas Ferdi Nuril, Herjunot Ali, dan Pevita Pearce ini menjadi buruk, kaku, dan tidak natural. Efeknya, karakter yang ada di dalam novel pun tidak bisa tergambar dengan baik. Kelima tokoh sahabat yang sudah bertahun-tahun berteman pun menjadi terlihat kurang akrab dalam beberapa adegan.

Spoiler Alert: Unsur Nasionalis :

Unsur nasionalisme yang dimasukkan ke dalam film juga seperti dipaksakan dan dicampuradukkan begitu saja. Ini juga sebenarnya masih berhubungan dengan masalah adegan dan dialog yang sudah dibahas sebelumnya. Unsur nasionalisme sering dimasukkan ke dalam dialog-dialog tentang kenegaraan yang kaku dan sangat maksa. Saat sudah mencapai puncak mahameru, alih-alih melakukan upacara bendera 17 agustusan di puncak tertinggi jawa itu, keenam tokoh justru berganti-gantian mengungkapkan betapa bangganya mereka terhadap Indonesia. Dan entah darimana, rombongan pendaki tiba-tiba muncul di belakang dan menonton dengan seksama aksi mereka tersebut.
Terakhir, bumbu utama dalam suatu film, yaitu konflik, sama sekali tidak terlihat di dalam film ini. Konflik internal antar sahabat, yang seharusnya bisa digali dan ditonjolkan karena merupakan tema utama dalam cerita film ini, sama sekali tidak muncul. Akibatnya, film ini terasa agak garing dan kurang menggigit.

Rating: 5/10

Senin, 20 Agustus 2012

Di Taxi Sore Itu


1336984851730681668

Trep! Bunyi suara pintu taxi yang baru saja kututup. “Hujannya gak berhenti-berhenti, terpaksa naik taxi deh,” pikirku sambil melihat ke luar jendela. Perlahan-lahan, mulai kupalingkan wajahku dari derasnya hujan yang turun tanpa henti itu, ke supir taxi yang wajahnya terlihat cukup jelas di kaca spion tengah. Bayangan seorang pria setengah baya dengan kulit sawo matang serta kumis dan jenggot yang cukup lebat terlihat disana. Sebenarnya, cukup menyenangkan melihat air hujan yang turun deras dari langit, namun aku tidak menyukai kombinasinya. Hujan dengan kombinasi lalu lintas kota Jakarta. Lalu lintas Jakarta yang sedang macet total. Dan aku pun baru sadar kalau taxi ini belum jalan satu centimeter pun sejak pertama aku menaikinya tadi. Biasanya, aku memang lebih memilih naik ojek untuk pulang ke rumah. Namun hujan deras yang tak kunjung henti ini lah yang memaksa aku mengambil alternatif angkutan lain.

Taxi yang belum kunjung berjalan memakasa aku melihat pemandangan di luar lagi. Ya, tidak mungkin juga kalau aku melihat bayangan supir taxi di kaca spion tengah itu secara terus-terusan. Di tengah derasnya hujan yang turun, masih banyak juga orang-orang yang mencari nafkah. Mulai dari ojek payung, pedagang asongan, pengamen, hingga pengemis. Mereka semua bekerja seperti tidak merasakan guyuran hujan deras yang menghantam tubuh mereka. Sekilas aku berpikir, mungkin inilah hal yang hebat dari Ibukota. Rakyatnya yang tak kenal lelah untuk mencari nafkah dalam kondisi dan situasi apapun. Namun pikiran itu memang hanya sekilas. Setelah itu, aku justru berpikir sebaliknya. Mungkin inilah hal yang menyedihkan dari Ibukota. Bagaimana rakyat kecil, dalam kondisi apapun juga harus tetap berjuang sedemikian keras demi mecari sesuap nasi. Jadi ini hebat atau menyedihkan? Ah, entahlah.

Diantara para pencari nafkah jalanan Ibukota yang kulihat di tengah kemacetan itu, ada satu sosok manusia yang entah kenapa membuatku sangat iba. Agak jauh di depan, terlihat seorang bapak-bapak yang bisa dibilang sudah cukup tua, sedang berjalan ke arah taxi yang aku tumpangi. Entah kenapa ya? Tubuhnya memang tidak cacat. Namun melihat bagaimana tubuhnya yang kurus diterpa hujan lebat, bagaimana cara jalannya yang sudah mulai oleng dan terhuyung-huyung, bagaimana ekspresi wajahnya yang memercikkan kelelahan dan kesedihan, bagaimana membayangkan anak dan istrinya menunggu nafkah darinya di rumah… aku berani taruhan semua orang pasti merasa iba melihatnya. Tapi ternyata aku salah. Ternyata aku kalah taruhan. Ternyata rasa iba tidak berlaku bagi supir taxi yang sedang aku tumpangi ini.

Dengan entengnya, dia hanya melambaikan tangan membentuk angka lima saat pengemis itu menyodorkan mangkuk ke arah jendelanya. Maksudku, tanpa membuka jendela terlebih dahulu? Tanpa mengucapkan kata maaf atau apalah? Bisa dibilang, taxi yang kutumpangi ini cukup elit, taxi kelas menengah keatas. Memberikan pengemis itu beberapa ribu rupiah saja tidak akan membuat sang supir menjadi miskin.

Yasudahlah, pikirku sambil menarik nafas panjang. Secara cepat, kugeser posisi dudukku ke bagian sebelah kanan bangku taxi ini. Kubuka jendela yang ada di sampingku sehingga pengemis yang sebelumnya sudah ditolak mentah-mentah oleh supit taxi itu tidak segan untuk mendekat. Hujan yang masih turun dengan deras, langsung masuk melalui celah jendela yang kubuka. Membasahi sedikit bajuku dan bagian dalam dari taxi ini. Agar air tidak masuk lebih banyak lagi, dengan cepat, kukeluarkan uang dari dompetku dan langsung kuberikan kepada pengemis itu. “Terimakasih mas, Terimakasih banyak,” ujar pengemis tersebut dengan badan setengah membungkuk menghadapku. Cukup menyedihkan melihatnya. Aku pun terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa membalas dengan senyum, sambil berharap uang yang tidak seberapa itu dapat banyak berguna bagi dirinya dan keluarganya.

Setelah pengemis itu berjalan menjauh, kugeser kembali posisi dudukku ke sebelah kiri. Saat bergeser, pandanganku sempat beradu sebentar dengan supir taxi itu. Lewat kaca spion tengah tentunya. Entah kenapa aku merasakan tatapan matanya cukup sinis. Entah karena aku membasahi bagian dalam taxinya dengan air hujan, atau karena aku memberi uang pada pengemis itu. Entahlah. Jika masalahnya karena aku membasahi bagian dalam taxinya, aku bisa terima. Namun jika masalahnya karena aku member uang pada pengemis tadi? Hey, apa masalahnya?

Satu setengah jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di rumah. Padahal kalau naik ojek seperti biasanya, paling lama hanya makan waktu 45 menit. Perjalanan yang cukup lama itu pun sampai membuat hujan deras tadi sudah mulai berhenti. Hanya tersisa rintik-rintik kecil saja sekarang. Akhirnya, aku keluar juga dari taxi dengan supir yang super menyebalkan itu. Tarif yang biasanya dengan ojek hanya Rp. 15.000, kini harus kubayar dengan Rp. 65.000. Kukeluarkan uang pecahan 100.000 dari dompetku, dan tanpa menatap wajahnya, kuberikan ke supir taxi itu. Ya, aku sudah malas bertatapan dengannya sejak kejadian tidak mengenakkan tadi. Agak lama dia membongkar dompet dan spakboard-nya sebelum akhirnya dia berkata: “Tidak ada kembalian mas, biar saya tukarkan dulu ya.”

Tanpa menunggu jawaban dariku, dia langsung keluar dari taxinya. Sebelumnya, dia sempat mengambil sebuah tongkat yang diselipkan di sebelah kanan tempat duduknya. Sebuah tongkat penyangga, untuk kaki kanannya yang cacat.