Ini yang feature.
Dendi (19) sedang menunggu
Kopaja yang akan dia jadikan tempat untuk mengamen di Kawasan Cengkareng,
Jakarta (11/07/2013).
JAKARTA, KOMPAS.com - Namaku Dendi, 19 tahun.
Tapi teman-teman seprofesi banyak memanggilku Ucuy. Aku terlahir dengan kulit
sawo matang, namun sekarang sudah terlihat hitam legam karena terlalu sering
terkena sinar matahari. Rambutku lurus berponi. Tinggiku rata-rata orang indonesia.
Aku memiliki tato di lengan sebelah kiri yang kubuat saat masih nakal dulu. Aku
putus sekolah saat SMP kelas dua, tepatnya satu tahun sejak almarhum ibuku
meninggal dunia. Ayahku adalah seorang pemulung yang sudah sakit-sakitan. Aku
juga mempunyai satu adik perempuan yang saat ini bersekolah kelas 1 SMP. Aku
tidak ingin dia putus sekolah sepertiku.
Pekerjaanku setiap hari
adalah menghibur orang dengan bernyanyi sembari bergitar. Bukan dari panggung
ke panggung, namun dari kopaja ke kopaja. Ya, aku adalah seorang pengamen.
Namun jika bisa memilih, aku lebih senang dipanggil seniman atau musisi
jalanan. Itu merupakan cita-citaku. Tapi di zaman sekarang ini, kalau tidak
sekolah bisa apa? Meskipun begitu, aku tetap senang menjadi pengamen. Aku tetap
bisa menjalankan hobiku dan suatu saat dapat meraih cita-citaku dengan cara
yang tak terduga. Seperti pengamen cilik yang tiba-tiba terkenal itu. Lagipula,
penghasilan dari mengamen juga lumayan. Cukup untuk kehidupan sehari-hari dan
membiayai sekolah adikku yang katanya sebagian besarnya sudah ditanggung Pak
Jokowi. Namun memasuki bulan ramadhan yang katanya penuh rahmat ini, entah
kenapa penghasilanku menurun. Bukan hanya tahun ini, tapi juga tahun-tahun
sebelumnya.
Aku yang jika bekerja dari
pagi hingga malam dapat menghasilkan Rp 60-70 ribu per hari kini hanya bisa
mendapatkan 30-40 ribu. Belakangan kuketahui penyebabnya adalah kemunculan para
pengemis dadakan dari luar daerah Jakarta. Pengamen dan pengemis memang dua
profesi yang berbeda. Sangat jauh berbeda bahkan. Namun orang-orang yang kita
minta sebagian rezekinya selalu sama. Orang-orang yang sedang berhenti di lampu
merah, sedang menaiki bus kota, ataupun mereka yang sedang menyantap hidangan
di pinggir jalan. Target operasi kita sama.
Mekipun tidak tamat SMP,
aku mengerti bahwa cara meminta uang dengan mengamen jauh lebih baik daripada
mengemis. Meskipun jarang shalat, aku juga tahu bahwa tangan diatas jauh lebih
baik daripada tangan dibawah. Lalu kenapa aku yang ssetidaknya bermodal suara
dan gitar ini bisa kalah dengan mereka yang tidak bermodalkan apa-apa? Oh
tunggu sebentar, sepertinya aku salah. Tentu saja para pengemis itu mempunyai
modal, bahkan yang lebih besar dari milikku. Bukankah mereka harus bermodalkan
bayi yang entah anak siapa agar dapat lebih dikasihani masyarakat? Bukankah ada
juga dari mereka yang memodifikasi tubuh mereka sedemikian rupa sehingga
terlihat cacat oleh orang-orang? Dan sialnya masyarakat kita lebih tergugah
dengan modal yang seperti itu dibanding modal suara dan gitarku.
Aku yang sebagian besar
menghabiskan waktu di jalanan ini tentu saja sangat sering bertemu mereka.
Terkadang jika senggang, aku juga menyempatkan untuk mengobrol. Beberapa hari
yang lalu aku sempat mengobrol dengan tipe pengemis ibu-ibu yang menggendong
bayi. Obrolan kami berlangsung cukup panjang hingga mengarah kepada pendapatan
masing-masing. Luar biasanya, ibu terebut menyebutkan bahwa dia bisa
mendapatkan Rp 400-500 ribu per hari. Hampir sepuluh kali lipat dari
penghasilanku. Sebenarnya aku tidak terlalu terkejut mendengar pernyataannya
tersebut. Pasalnya, aku sudah sering mendengar info itu di kalangan teman-teman
pengamen. Namun ada perasaan sedih dan pedih di hati ini. Bagaimana aku yang
terkadang harus bernyanyi sambil berteriak karena bisingnya suara bus kota,
harus kalah bersaing dengan seorang ibu yang hanya menadahkan tangan.
Aku bukan tipe pengamen
yang buruk. Aku bukan tipe pengamen yang langsung pergi setelah uang diterima.
Aku juga bukan pengamen yang bernyanyi asal-asalan dan ala kadarnya. Ya...
meskipun menurutku tipe pengamen seperti itu juga masih lebih baik dari
pengemis. Aku adalah tipe pengamen yang selalu berusaha bernyanyi dengan baik
agar orang terhibur, tidak peduli mereka akan memberiku uang atau tidak. Aku
juga tidak akan langsung kabur ketika sudah diberi uang. Mungkin hal tersebut
kulakukan karena kecintaanku terhadap seni musik dan cita-cita mulukku untuk
menjadi penyanyi profesional.