Senin, 20 Agustus 2012

Di Taxi Sore Itu


1336984851730681668

Trep! Bunyi suara pintu taxi yang baru saja kututup. “Hujannya gak berhenti-berhenti, terpaksa naik taxi deh,” pikirku sambil melihat ke luar jendela. Perlahan-lahan, mulai kupalingkan wajahku dari derasnya hujan yang turun tanpa henti itu, ke supir taxi yang wajahnya terlihat cukup jelas di kaca spion tengah. Bayangan seorang pria setengah baya dengan kulit sawo matang serta kumis dan jenggot yang cukup lebat terlihat disana. Sebenarnya, cukup menyenangkan melihat air hujan yang turun deras dari langit, namun aku tidak menyukai kombinasinya. Hujan dengan kombinasi lalu lintas kota Jakarta. Lalu lintas Jakarta yang sedang macet total. Dan aku pun baru sadar kalau taxi ini belum jalan satu centimeter pun sejak pertama aku menaikinya tadi. Biasanya, aku memang lebih memilih naik ojek untuk pulang ke rumah. Namun hujan deras yang tak kunjung henti ini lah yang memaksa aku mengambil alternatif angkutan lain.

Taxi yang belum kunjung berjalan memakasa aku melihat pemandangan di luar lagi. Ya, tidak mungkin juga kalau aku melihat bayangan supir taxi di kaca spion tengah itu secara terus-terusan. Di tengah derasnya hujan yang turun, masih banyak juga orang-orang yang mencari nafkah. Mulai dari ojek payung, pedagang asongan, pengamen, hingga pengemis. Mereka semua bekerja seperti tidak merasakan guyuran hujan deras yang menghantam tubuh mereka. Sekilas aku berpikir, mungkin inilah hal yang hebat dari Ibukota. Rakyatnya yang tak kenal lelah untuk mencari nafkah dalam kondisi dan situasi apapun. Namun pikiran itu memang hanya sekilas. Setelah itu, aku justru berpikir sebaliknya. Mungkin inilah hal yang menyedihkan dari Ibukota. Bagaimana rakyat kecil, dalam kondisi apapun juga harus tetap berjuang sedemikian keras demi mecari sesuap nasi. Jadi ini hebat atau menyedihkan? Ah, entahlah.

Diantara para pencari nafkah jalanan Ibukota yang kulihat di tengah kemacetan itu, ada satu sosok manusia yang entah kenapa membuatku sangat iba. Agak jauh di depan, terlihat seorang bapak-bapak yang bisa dibilang sudah cukup tua, sedang berjalan ke arah taxi yang aku tumpangi. Entah kenapa ya? Tubuhnya memang tidak cacat. Namun melihat bagaimana tubuhnya yang kurus diterpa hujan lebat, bagaimana cara jalannya yang sudah mulai oleng dan terhuyung-huyung, bagaimana ekspresi wajahnya yang memercikkan kelelahan dan kesedihan, bagaimana membayangkan anak dan istrinya menunggu nafkah darinya di rumah… aku berani taruhan semua orang pasti merasa iba melihatnya. Tapi ternyata aku salah. Ternyata aku kalah taruhan. Ternyata rasa iba tidak berlaku bagi supir taxi yang sedang aku tumpangi ini.

Dengan entengnya, dia hanya melambaikan tangan membentuk angka lima saat pengemis itu menyodorkan mangkuk ke arah jendelanya. Maksudku, tanpa membuka jendela terlebih dahulu? Tanpa mengucapkan kata maaf atau apalah? Bisa dibilang, taxi yang kutumpangi ini cukup elit, taxi kelas menengah keatas. Memberikan pengemis itu beberapa ribu rupiah saja tidak akan membuat sang supir menjadi miskin.

Yasudahlah, pikirku sambil menarik nafas panjang. Secara cepat, kugeser posisi dudukku ke bagian sebelah kanan bangku taxi ini. Kubuka jendela yang ada di sampingku sehingga pengemis yang sebelumnya sudah ditolak mentah-mentah oleh supit taxi itu tidak segan untuk mendekat. Hujan yang masih turun dengan deras, langsung masuk melalui celah jendela yang kubuka. Membasahi sedikit bajuku dan bagian dalam dari taxi ini. Agar air tidak masuk lebih banyak lagi, dengan cepat, kukeluarkan uang dari dompetku dan langsung kuberikan kepada pengemis itu. “Terimakasih mas, Terimakasih banyak,” ujar pengemis tersebut dengan badan setengah membungkuk menghadapku. Cukup menyedihkan melihatnya. Aku pun terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa membalas dengan senyum, sambil berharap uang yang tidak seberapa itu dapat banyak berguna bagi dirinya dan keluarganya.

Setelah pengemis itu berjalan menjauh, kugeser kembali posisi dudukku ke sebelah kiri. Saat bergeser, pandanganku sempat beradu sebentar dengan supir taxi itu. Lewat kaca spion tengah tentunya. Entah kenapa aku merasakan tatapan matanya cukup sinis. Entah karena aku membasahi bagian dalam taxinya dengan air hujan, atau karena aku memberi uang pada pengemis itu. Entahlah. Jika masalahnya karena aku membasahi bagian dalam taxinya, aku bisa terima. Namun jika masalahnya karena aku member uang pada pengemis tadi? Hey, apa masalahnya?

Satu setengah jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di rumah. Padahal kalau naik ojek seperti biasanya, paling lama hanya makan waktu 45 menit. Perjalanan yang cukup lama itu pun sampai membuat hujan deras tadi sudah mulai berhenti. Hanya tersisa rintik-rintik kecil saja sekarang. Akhirnya, aku keluar juga dari taxi dengan supir yang super menyebalkan itu. Tarif yang biasanya dengan ojek hanya Rp. 15.000, kini harus kubayar dengan Rp. 65.000. Kukeluarkan uang pecahan 100.000 dari dompetku, dan tanpa menatap wajahnya, kuberikan ke supir taxi itu. Ya, aku sudah malas bertatapan dengannya sejak kejadian tidak mengenakkan tadi. Agak lama dia membongkar dompet dan spakboard-nya sebelum akhirnya dia berkata: “Tidak ada kembalian mas, biar saya tukarkan dulu ya.”

Tanpa menunggu jawaban dariku, dia langsung keluar dari taxinya. Sebelumnya, dia sempat mengambil sebuah tongkat yang diselipkan di sebelah kanan tempat duduknya. Sebuah tongkat penyangga, untuk kaki kanannya yang cacat.