Rabu, 18 Juli 2012

Putih Hitam Kelabu



Ada putih, ada hitam. Ada malaikat, ada iblis. Ada peperangan, ada perdamaian. Ada hidup, ada mati. Ada hal-hal yang baik, namun ada pula hal-hal yang buruk. Hari ini dua hal penting terjadi padaku. Dua hal yang bisa dibilang sangat berpengaruh dengan hari-hariku selanjutnya. Ya, dua hal, yang satu adalah hal yang baik dan yang satu adalah hal yang buruk.

Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di sebuah stasiun televisi, sebagai presenter berita. Pekerjaan pertamaku setelah aku lulus kuliah beberapa bulan yang lalu. Pekerjaan yang sangat aku idam-idamkan sejak lama. Berbagai perasaan tidak menentu berkecamuk dan bercampur aduk di hatiku. Namun diantara perasaan tidak menentu yang berkecamuk dan bercampur aduk itu, aku tahu satu perasaan yang pasti. Perasaan gembira. Perasaan gembira saat berhasil menggapai cita-cita, yang jelas belum pernah aku rasakan sebelumnya. Jam satu siang nanti hasil jerih payahku selama ini akan terbayar.

Namun tiga jam sebelum itu, jam 10 pagi, aku terlebih dahulu berada di bandara. Mengantar kepergian pacarku, Haris, untuk pergi ke jerman mengejar cita-citanya. Haris bukan hanya sekedar pacar. Walaupun umur hubungan kami baru 3 tahun, namun kami sudah saling kenal sejak kecil. Sejak kelas 3 SD. Dia adalah sahabatku, kakakku, bahkan disaat tertentu dia bisa saja kuanggap sebagai orangtuaku. Setidaknya kami selalu bertemu minimal sekali dalam seminggu. Sekarang, aku tidak bisa membayangkan jika kami hanya bisa bertemu setahun sekali pada saat dia pulang di hari lebaran saja.

Dipeluknya erat-erat tubuhku ketika sudah tiba waktunya untuk berangkat. “Cepet pulang ya, lek.” Setelah mengatakan itu, tangis yang sudah kutahan sejak tadi mulai berjatuhan, membasahi raut sedih di wajahku. Dan saat itulah aku melihatnya, tangisan pertama Haris, di depanku. Tangisan Haris yang kecil, namun tetap saja mengherankan. Tangisan Haris yang seharusnya adalah orang yang keras dan tegar. Aku tidak tau apa arti tangisannya itu. Apakah murni untukku? Atau untuk seluruh kehidupannya di Negara ini yang harus dia tinggalkan? Keluarganya, teman-temannya? Entahlah. Namun dibalik tangisannya yang menggelikan itu, dia tetap masih bisa tersenyum tegar sambil mengangguk kecil untuk menjawab permintaanku, sebelum akhirnya berjalan menjauh.

The show must go on! Kuhapus semua air mata di pipiku, walaupun air mata dihatiku belum dapat semuanya kuhapus. Aku berpamitan dengan keluarga Haris yang juga ikut mengantar, dan langsung meninggalkan bandara untuk selanjutnya mempersiapkan diriku menghadapi pekerjaan pertama yang sudah menanti.

Setengah satu siang, aku sudah tiba di kantor. Entah kenapa hari ini jalanan Jakarta tidak begitu macet, jadi aku sudah tiba di kantor lebih cepat dari perkiraan. Syukurlah, pikirku. Jadi setidaknya aku bisa merileksasikan badan dan pikiranku sebentar sebelum On Air dimulai. Masalahnya, dalam perjalanan ke kantor barusan, wajah Haris yang menangis di bandara tadi terus terbayang di kepalaku. Dan akibatnya, perasaan sedih yang amat sangat pun kembali meyerangku. Saat pertama aku mendapat kabar bahwa Haris akan berangkat ke Jerman, pada hari kerja pertamaku, aku memang kaget. Tapi aku tak pernah menyangka jadinya akan sesedih ini.

Setengah jam berjalan dengan  cepat. Sekarang aku sudah duduk mantap di sebuah bangku di ruangan On Air, lengkap dengan kamera dan teleprompternya tepat berada di depanku. Untunglah, 30 menit rileksasi tadi ternyata sudah membuatku lebih tenang. Setidaknya untuk sementara, bayangan wajah Haris yang menangis tadi sudah tidak terbayang lagi di kepalaku. Satu demi satu, setiap berita kubacakan dengan lancar sesuai dengan kapasitasku. Saat iklan, Mas Ian, salah seorang crew berjalan mendekat ke arahku.“Nih, nanti selesai iklan langsung bacain aja ya, belum ada gambarnya, soalnya beritanya baru banget,” dia berkata sambil memberikan handphonenya kepadaku. Belum sempat aku membacanya terlebih dahulu, Mas Rendi, seorang crew lainnya sudah memberi komando dari ruang control room. “Ayo siap-siap, bentar lagi on air lagi ya.” Iklan selesai. Aku langsung bersiaga menghadap kamera dan mulai membacakan berita yang diberikan Mas Ian barusan.

“Pemirsa, baru saja kami mendapat informasi telah jatuhnya pesawat….”

Aku langsung terhenti sebentar. Pesawat jatuh? Otakku langsung berpikir cepat untuk menepis pikiran buruk tersebut. Berapa banyak pesawat yang diterbangkan hari ini? Tidak mungkin pesawat Haris! Tidak mungkin! Sadar bahwa aku harus bertindak profesional, seketika aku langsung memberanikan diri untuk lanjut membaca. Lagipula tidak mungkin pesawat Haris.

“…Mentari Nusantara Airlines…”

Jantungku berdegup kencang! Ya, sesaat aku sadar kalau itu adalah nama maskapai penerbangan yang digunakan oleh haris. Aku sudah tidak tau seperti apa raut wajahku di layar televisi sekarang. Namun aku tetap bersikap normal, dan berusaha untuk melanjutkan.

 “…nomor penerbangan NZ 1784…”

Ah siapa yang peduli dengan nomor penerbangan? Mana aku tahu nomor penerbangannya berapa.

“…Ru..rute Indonesia-Jerman…”

Dadaku sesak. Seketika aku terpaku sambil mecoba berpikir bagaimana caranya bernafas. Jantungku berdetak cepat, dag dig dug dag dig dug! Perlahan tubuhku mulai gemetar. Keringat dingin mengucur dari pori-pori kulitku. Bayangan wajah Haris yang menangis di bandara tadi langsung masuk menyeruak ke otakku. Hatiku berkecamuk tidak karuan, tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Sejenak, terlintas di pikiranku untuk melanjutkan semua ini, namun mulutku gemetar hebat, tidak mampu lagi untuk berkata-kata. Aku tahu persis bahwa hanya ada satu pesawat Mentari Nusantara Airlines yang terbang ke Jerman hari ini.