Ada putih, ada hitam. Ada malaikat,
ada iblis. Ada peperangan, ada perdamaian. Ada hidup, ada mati. Ada hal-hal
yang baik, namun ada pula hal-hal yang buruk. Hari ini dua hal penting terjadi
padaku. Dua hal yang bisa dibilang sangat berpengaruh dengan hari-hariku
selanjutnya. Ya, dua hal, yang satu adalah hal yang baik dan yang satu adalah
hal yang buruk.
Hari ini adalah hari pertamaku bekerja
di sebuah stasiun televisi, sebagai presenter berita. Pekerjaan pertamaku
setelah aku lulus kuliah beberapa bulan yang lalu. Pekerjaan yang sangat aku
idam-idamkan sejak lama. Berbagai perasaan tidak menentu berkecamuk dan
bercampur aduk di hatiku. Namun diantara perasaan tidak menentu yang berkecamuk
dan bercampur aduk itu, aku tahu satu perasaan yang pasti. Perasaan gembira. Perasaan
gembira saat berhasil menggapai cita-cita, yang jelas belum pernah aku rasakan
sebelumnya. Jam satu siang nanti hasil jerih payahku selama ini akan terbayar.
Namun tiga jam sebelum itu, jam 10
pagi, aku terlebih dahulu berada di bandara. Mengantar kepergian pacarku,
Haris, untuk pergi ke jerman mengejar cita-citanya. Haris bukan hanya sekedar
pacar. Walaupun umur hubungan kami baru 3 tahun, namun kami sudah saling kenal
sejak kecil. Sejak kelas 3 SD. Dia adalah sahabatku, kakakku, bahkan disaat
tertentu dia bisa saja kuanggap sebagai orangtuaku. Setidaknya kami selalu
bertemu minimal sekali dalam seminggu. Sekarang, aku tidak bisa membayangkan
jika kami hanya bisa bertemu setahun sekali pada saat dia pulang di hari lebaran
saja.
Dipeluknya erat-erat tubuhku ketika
sudah tiba waktunya untuk berangkat. “Cepet pulang ya, lek.” Setelah mengatakan
itu, tangis yang sudah kutahan sejak tadi mulai berjatuhan, membasahi raut
sedih di wajahku. Dan saat itulah aku melihatnya, tangisan pertama Haris, di
depanku. Tangisan Haris yang kecil, namun tetap saja mengherankan. Tangisan
Haris yang seharusnya adalah orang yang keras dan tegar. Aku tidak tau apa arti
tangisannya itu. Apakah murni untukku? Atau untuk seluruh kehidupannya di
Negara ini yang harus dia tinggalkan? Keluarganya, teman-temannya? Entahlah.
Namun dibalik tangisannya yang menggelikan itu, dia tetap masih bisa tersenyum
tegar sambil mengangguk kecil untuk menjawab permintaanku, sebelum akhirnya
berjalan menjauh.
The
show must go on! Kuhapus
semua air mata di pipiku, walaupun air mata dihatiku belum dapat semuanya
kuhapus. Aku berpamitan dengan keluarga Haris yang juga ikut mengantar, dan
langsung meninggalkan bandara untuk selanjutnya mempersiapkan diriku menghadapi
pekerjaan pertama yang sudah menanti.
Setengah satu siang, aku sudah tiba di
kantor. Entah kenapa hari ini jalanan Jakarta tidak begitu macet, jadi aku
sudah tiba di kantor lebih cepat dari perkiraan. Syukurlah, pikirku. Jadi
setidaknya aku bisa merileksasikan badan dan pikiranku sebentar sebelum On Air
dimulai. Masalahnya, dalam perjalanan ke kantor barusan, wajah Haris yang
menangis di bandara tadi terus terbayang di kepalaku. Dan akibatnya, perasaan
sedih yang amat sangat pun kembali meyerangku. Saat pertama aku mendapat kabar
bahwa Haris akan berangkat ke Jerman, pada hari kerja pertamaku, aku memang
kaget. Tapi aku tak pernah menyangka jadinya akan sesedih ini.
Setengah jam berjalan dengan cepat. Sekarang aku sudah duduk mantap di
sebuah bangku di ruangan On Air, lengkap dengan kamera dan teleprompternya
tepat berada di depanku. Untunglah, 30 menit rileksasi tadi ternyata sudah
membuatku lebih tenang. Setidaknya untuk sementara, bayangan wajah Haris yang
menangis tadi sudah tidak terbayang lagi di kepalaku. Satu demi satu, setiap
berita kubacakan dengan lancar sesuai dengan kapasitasku. Saat iklan, Mas Ian, salah
seorang crew berjalan mendekat ke arahku.“Nih, nanti selesai iklan langsung
bacain aja ya, belum ada gambarnya, soalnya beritanya baru banget,” dia berkata
sambil memberikan handphonenya kepadaku. Belum sempat aku membacanya terlebih
dahulu, Mas Rendi, seorang crew lainnya sudah memberi komando dari ruang
control room. “Ayo siap-siap, bentar lagi on air lagi ya.” Iklan selesai. Aku
langsung bersiaga menghadap kamera dan mulai membacakan berita yang diberikan
Mas Ian barusan.
“Pemirsa, baru saja kami mendapat
informasi telah jatuhnya pesawat….”
Aku langsung terhenti sebentar.
Pesawat jatuh? Otakku langsung berpikir cepat untuk menepis pikiran buruk
tersebut. Berapa banyak pesawat yang diterbangkan hari ini? Tidak mungkin
pesawat Haris! Tidak mungkin! Sadar bahwa aku harus bertindak profesional,
seketika aku langsung memberanikan diri untuk lanjut membaca. Lagipula tidak
mungkin pesawat Haris.
“…Mentari Nusantara Airlines…”
Jantungku berdegup kencang! Ya, sesaat
aku sadar kalau itu adalah nama maskapai penerbangan yang digunakan oleh haris.
Aku sudah tidak tau seperti apa raut wajahku di layar televisi sekarang. Namun
aku tetap bersikap normal, dan berusaha untuk melanjutkan.
“…nomor penerbangan NZ 1784…”
Ah siapa yang peduli dengan nomor
penerbangan? Mana aku tahu nomor penerbangannya berapa.
“…Ru..rute Indonesia-Jerman…”
Dadaku sesak. Seketika aku terpaku
sambil mecoba berpikir bagaimana caranya bernafas. Jantungku berdetak cepat,
dag dig dug dag dig dug! Perlahan tubuhku mulai gemetar. Keringat dingin
mengucur dari pori-pori kulitku. Bayangan wajah Haris yang menangis di bandara
tadi langsung masuk menyeruak ke otakku. Hatiku berkecamuk tidak karuan, tidak
tahu apa yang harus kuperbuat. Sejenak, terlintas di pikiranku untuk
melanjutkan semua ini, namun mulutku gemetar hebat, tidak mampu lagi untuk
berkata-kata. Aku tahu persis bahwa hanya ada satu pesawat Mentari Nusantara
Airlines yang terbang ke Jerman hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar